Pemkot Bandung juga telah menandatangani nota kesepahaman perjanjian jual beli listrik dari PLTSa dengan PT PLN.
Semula, PLTSa akan dibangun di kawasan Gedebage, berdampingan dengan Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA).
Namun, lokasi pembangunan PLTSa dipindahkan ke Tempat Pemilahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legoknangka milik Provinsi Jawa Barat, seiring dengan keputusan pemerintah untuk merevisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar.
Namun, lokasi pembangunan PLTSa dipindahkan ke Tempat Pemilahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legoknangka milik Provinsi Jawa Barat, seiring dengan keputusan pemerintah untuk merevisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar.
Dengan dipindahkannya lokasi pembangunan PLTSa, ruang lingkup pabrik pengolahan sampah ini pun meluas menjadi Bandung Raya, bukan hanya kota Bandung.
"Perpresnya mau diubah, skopnya menjadi Bandung Raya, bukan lagi Kota Bandung. Itu setelah mereka (pusat) evaluasi karena mereka sudah ke lapangan,” ujar Kepala Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat, Bambang Rianto, Senin (5/12/2016), dikutip Pikiran Rakyat.
Bambang menyatakan, saat ini Pemprov Jabar tengah menyelesaikan proyek pembenahan fisik TPPAS Legoknangka. Dana proyek itu bersumber dari APBN senilai Rp 86 miliar.
”Yang paling penting, ada investor di sana (untuk mengolah sampah). Jumlahnya belum tahu karena pas mau dilelang, datang ini (revisi perpres),” ujarnya.
TPPAS Legoknangka memiliki luas 74,6 hektare dan mampu menampung 1.500 ton sampah tiap hari. Dalam pengolahan, 10% dari total sampah itu akan menghasilkan residu abu yang bisa dijadikan bahan baku batu bata.
TPPAS Legoknangka memiliki luas 74,6 hektare dan mampu menampung 1.500 ton sampah tiap hari. Dalam pengolahan, 10% dari total sampah itu akan menghasilkan residu abu yang bisa dijadikan bahan baku batu bata.
Selain pindah lokasi ke Legoknangka, teknologi yang digunakan PLTSa pun bukan lagi teknologi pembakaran (insinerator), melainkan teknologi yang ramah lingkungan biodigester, berupa pengolahan sampah organik dengan cara fermentasi anaerob (tanpa oksigen).
Dengan teknologi biodigester, pengolahan sampah organik tidak dilakukan melalui sistem pembakaran sehingga dipastikan akan lebih ramah lingkungan.
Biodigester diharapkan mampu menggeser pola pengelolaan sampah yang tadinya tersentralisasi di sebuah TPA, menjadi terdesentralisasi atau pengolahan sampah yang dilakukan lebih dekat dengan sumbernya. *
Post a Comment
Post a Comment